Asahan | Tajamnews.co.id —
Konflik penguasaan lahan di Desa Padang Sari, Kecamatan Tinggi Raja, Kabupaten Asahan, kembali mencuat. PT Bakrie Sumatera Plantations Tbk (PT BSP) Kisaran membantah keras tuduhan intimidasi terhadap warga kini menguasai sebagian areal Hak Guna Usaha (HGU) perusahaan.
Sebaliknya, pihak perusahaan menuding sejumlah oknum warga bersenjata tajam justru menghadang dan melawan petugas keamanan kebun sedang menjalankan patroli resmi.
Klaim Warisan Leluhur & SKT 1934
Akar persoalan bermula dari klaim sekelompok warga menyatakan bahwa sebagian lahan milik PT BSP merupakan tanah warisan leluhur. Mereka mengantongi dokumen lama berupa Surat Keterangan Tanah (SKT) No. 37/1934 dan mengklaim luasan hingga 300 hektare.
Dari jumlah itu, sekitar 100 hektare lebih disebut kini telah dikuasai kelompok warga, dan pihak perusahaan bahkan dilarang melakukan panen di area tersebut.
“Warga menganggap lahan itu milik nenek moyang mereka, namun secara hukum areal itu masih masuk dalam HGU aktif perusahaan,” ungkap Yudha Andriko, Public Relations & External Affair Department Head PT BSP Kisaran.
Bantahan Intimidasi & Insiden 1 Oktober
Menanggapi tuduhan bahwa petugas keamanan melakukan intimidasi terhadap warga, PT BSP menyebut hal itu tidak benar dan menyesatkan.
Menurut Yudha, kejadian 1 Oktober lalu justru memperlihatkan sebaliknya.
“Tim kami saat itu sedang menjalankan patroli pengamanan rutin di dalam areal HGU PT BSP. Namun, mereka dihadang sekelompok oknum penguasa lahan secara ilegal. Beberapa di antaranya membawa senjata tajam dan melakukan perlawanan,” jelasnya.
Pihaknya menilai tudingan intimidasi adalah bentuk pemutarbalikan fakta lapangan pengabur persoalan hukum sebenarnya, bahwa lahan tersebut masih sah di bawah izin HGU perusahaan.
Status HGU Masih Sah & Klaim Pajak Rp150 Miliar Dibantah
Dalam konferensi pers dihadiri jajaran manajemen termasuk Alharis Nasution (Public Relations dan External Affair Department Head), Aripin Saragih (HR dan Comdev Department Head) dan Rezha Sanjaya (HR IR Personalia Staff) PT BSP menegaskan bahwa izin HGU mereka masih sah dan sedang dalam proses pembaruan di Kementerian ATR/BPN Pusat sejak 2020.
Yudha membantah isu menyebut izin HGU telah habis dan perusahaan menunggak pajak hingga Rp150 miliar.
“Informasi itu tidak benar dan tidak relevan. Kami menjalankan seluruh prosedur sesuai peraturan perundang-undangan,” tegasnya.
Forum Dialog Diabaikan & Upaya Persuasif Tidak Dihargai
Menurut Yudha, PT BSP telah berulang kali mengundang berbagai pihak untuk berdialog secara terbuka, termasuk kelompok masyarakat pengklaim lahan. Namun, undangan untuk duduk bersama justru kerap diabaikan.
“Alih-alih berdialog, mereka melakukan blokade jalan dan menghadang aktivitas panen di areal HGU,” ujar Yudha.
Pihak perusahaan menyebut bahwa aksi blokade itu diduga melibatkan oknum Kepala Desa Padang Sari berinisial BM, sejak September 2025 memimpin penguasaan lahan dan penghadangan terhadap kegiatan operasional perusahaan.
Legalitas HGU Dikuatkan DPRD Asahan
Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) di DPRD Kabupaten Asahan pada 29 Juli 2025, seluruh pihak termasuk Kepala Desa Padang Sari menyepakati bahwa PT BSP adalah pemegang hak sah pengelolaan lahan tersebut.
“Dasar hukum HGU kami jelas, resmi, dan sah. Klaim warga berdasarkan SKT 1934 tidak memiliki kekuatan hukum membatalkan hak atas tanah negara diberikan kepada perusahaan,” tambah Yudha.
Percayakan Penyelesaian pada Penegak Hukum
PT BSP menyatakan telah melaporkan insiden dan penguasaan lahan tersebut kepada aparat penegak hukum untuk mencegah eskalasi lebih lanjut.
“Kami tidak akan mengambil langkah di luar hukum. Bila nanti terbukti lahan itu benar milik warga, kami siap melepas dan mengganti rugi sesuai ketentuan,” ujar Yudha.
Ia menegaskan, PT BSP tetap membuka ruang dialog, namun juga wajib melindungi aset perusahaan dikelola secara sah berdasarkan izin negara.
“Kami berharap semua pihak menghormati proses hukum dan tidak terprovokasi oleh isu-isu tidak benar,” pungkasnya.
Kasus PT BSP di Padang Sari menjadi potret klasik sengketa agraria di perkebunan besar: benturan antara hak legal berbasis izin negara dan klaim adat atau leluhur berakar panjang. Meski perusahaan mengklaim kepatuhan hukum dan pendekatan persuasif, kegagalan dialog menunjukkan lemahnya komunikasi sosial antara korporasi dan masyarakat.
Penyelesaian melalui jalur hukum menjadi satu-satunya jalan, namun efektivitasnya masih tergantung pada transparansi proses dan keberanian semua pihak untuk membuka data secara jujur.
(Rosdiana Br Purba)