Simalungun | Tajamnews.co.id
Langit sore di Kecamatan Dolok Pardamean terlihat muram. Di tengah hamparan kebun cabe mulai mengering, beberapa petani tampak termenung. Harga cabe baru sebulan lalu menembus Rp60.000 per kilogram kini anjlok hingga Rp38.000.
Bagi mereka, bukan hanya harga turun, tapi juga semangat untuk menanam kembali.
“Begitu masuk cabe dari Jawa, kami langsung rugi,” keluh seorang petani di Nagori Purba. Ia menunjukkan ladangnya kini setengah dibiarkan tidak terurus. “Biaya pupuk mahal, pestisida mahal, tenaga kerja mahal. Kalau harga segini, kami tidak sanggup bertahan.”
Suara keresahan itu bukan isapan jempol. Anggota DPRD Simalungun Junita V. Munthe menyoroti langsung kebijakan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara (Pemprov Sumut) mendatangkan cabe dari Pulau Jawa dengan alasan menekan harga pasar. Menurutnya, kebijakan itu justru menjadi pukulan berat bagi petani lokal.
> “Petani butuh payung hukum. Pemerintah harus berpihak dengan menetapkan harga dasar komoditas pertanian, bukan justru mematikan semangat petani dengan mendatangkan cabe dari luar,” ujar Junita, politisi PDI Perjuangan, Jumat (31/10/2025).
Kebijakan Reaktif Bukan Solutif
Junita menilai langkah pemerintah selama ini hanya bersifat reaktif, bukan preventif. Saat harga cabe naik, pemerintah bergegas menekan harga dengan pasokan luar. Tapi ketika harga jatuh dan petani merugi, mereka dibiarkan tanpa perlindungan.
> “Ketika harga mahal, pemerintah cepat bertindak menekan harga. Tapi waktu murah, petani dibiarkan menjerit. Harus ada keadilan dalam kebijakan pangan,” tegasnya.
Ia mendesak agar Pemprov Sumut dan Pemkab Simalungun segera menyiapkan Peraturan Daerah (Perda) tentang penetapan harga dasar komoditas pertanian. Tujuannya agar petani memiliki kepastian pendapatan dan tidak selalu jadi korban fluktuasi harga pasar.
Biaya Produksi Tinggi Tapi Perlindungan Lemah
Di lapangan, data Dinas Pertanian menunjukkan biaya produksi cabe per hektare mencapai Rp80–100 juta per musim tanam. Dengan harga jual di bawah Rp40.000 per kilogram, margin keuntungan petani tergerus habis bahkan berpotensi merugi.
Junita menyebut pemerintah seharusnya hadir sebagai fasilitator pemasaran dan pemberi insentif produksi.
“Kalau biaya produksi bisa ditekan, petani tetap bisa untung meski harga turun,” katanya.
Ia mendorong pemerintah daerah untuk memperkuat dukungan dalam bentuk:
Pupuk bersubsidi tepat sasaran
Bibit unggul tahan penyakit
Bantuan kompos untuk menekan ongkos tanam
Langkah-langkah itu, menurutnya, menjadi bagian dari strategi keberpihakan jangka panjang terhadap sektor pertanian lokal.
Suara dari Ladang: Petani Tidak Lagi Percaya
Beberapa petani di Kecamatan Raya dan Purba mengaku mulai kehilangan kepercayaan pada pemerintah. Mereka merasa seolah dijadikan “korban” dari permainan harga pasar dan kebijakan berpihak sebelah.
“Kalau terus begini, kami lebih baik tanam jagung atau ubi. Setidaknya nggak rugi besar,” ujar Saut, petani cabe di Nagori Raya Huluan.
Kondisi ini memperlihatkan ironi: ketika pasar di kota bergembira dengan cabe murah, petani di desa justru tercekik.
Harapan Baru: Regulasi Harga dan Dukungan Nyata
Junita menegaskan kembali, penetapan harga dasar komoditas bukan sekadar permintaan politis, tapi kebutuhan mendesak bagi keberlanjutan pertanian di Sumatera Utara.
“Kalau terus begini, generasi muda enggan jadi petani. Kita akan krisis pangan di daerah sendiri,” tuturnya.
Ia juga mendorong Pemprov Sumut menggandeng BUMD pangan atau koperasi petani agar distribusi cabe dan komoditas lain tidak hanya dikuasai tengkulak atau pedagang besar dari luar daerah.
> “Kita butuh keberpihakan nyata. Bukan hanya wacana stabilisasi harga, tapi tindakan konkret membuat petani terlindungi,” pungkasnya.
Fenomena cabe Jawa di pasar Sumatera Utara menunjukkan betapa rapuhnya sistem tata niaga pertanian daerah. Tanpa regulasi harga dasar dan dukungan produksi, petani Simalungun terjebak dalam lingkaran kerugian berulang setiap kali pemerintah berusaha menstabilkan harga.
Sementara itu, pasar terus bergerak cepat. Dan di antara tumpukan cabe di lapak pedagang, masih terselip keringat dan air mata para petani kian kehilangan daya tawar.
(Lentini Krisna Prananta Sembiring, SE)