Medan | Tajamnews.co.id — 
Ratusan Warga Negara Indonesia (WNI) menjadi korban jebakan kerja di Kamboja. Mereka dijanjikan pekerjaan bergaji tinggi, namun kenyataannya disiksa, diancam dan dipaksa bekerja dalam jaringan scam judi online. Kasus ini kembali menyoroti gelapnya praktik Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) lintas negara terus berulang tanpa penyelesaian tuntas.
Informasi terbaru menyebutkan, sebanyak 110 korban meminta pertolongan untuk segera dipulangkan ke tanah air setelah berhasil kabur dari perusahaan scam tempat mereka disekap. Mereka menjadi bagian dari ribuan WNI terperangkap dalam sindikat perdagangan manusia di Asia Tenggara.
Negara Dituntut Tidak Abai
  Pengamat hukum Dr Rina Melati Sitompul menegaskan, kejahatan TPPO bukan sekedar pelanggaran hukum biasa, melainkan pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia.
“Dalam Pasal 5 Undang Undang Amandemen Perlindungan Saksi dan Korban disebutkan bahwa korban berhak memperoleh perlindungan dan keamanan. Artinya, proses pemulangan ke tanah air merupakan bentuk nyata dari kewajiban negara memberikan perlindungan hukum,” ujarnya, Kamis (23/10/2025).
Rina se dosen Fakultas Hukum Universitas Dharmawangsa itu menekankan, negara wajib hadir melalui kebijakan konkret, bukan sekedar pernyataan belas kasihan.
“Negara harus memaksimalkan program perlindungan sesuai berlakunya kebijakan hukum. TPPO adalah kejahatan trans nasional penuntut kerja sama dan keseriusan lintas lembaga,” tegasnya.
Momentum Evaluasi Perlindungan WNI
  Lebih lanjut, Rina mengingatkan agar pemerintah tidak hanya fokus pada proses pemulangan korban, tetapi juga mengusut tuntas jaringan perekrut di dalam negeri. Menurutnya, sebagian besar korban direkrut melalui iklan pekerjaan di media sosial dengan janji penghasilan besar, sebelum akhirnya dikirim secara ilegal ke luar negeri.
“Kasus ini seharusnya menjadi momentum bagi negara untuk membuktikan wujud nyata perlindungannya bagi rakyat menjadi korban perdagangan manusia,” ujarnya.
Pola Lama & Respons Lamban
  Kasus TPPO di Kamboja bukan kali pertama terjadi. Dalam beberapa tahun terakhir, kesamaan pola terus berulang, warga menengah ke bawah dijebak oleh perekrut ilegal, dijual ke perusahaan scam, lalu baru diselamatkan setelah kasusnya viral di media.
Pertanyaannya: mengapa mekanisme perlindungan dan deteksi dini pemerintah belum efektif ? 
Sementara sindikat perdagangan manusia semakin lihai beroperasi dengan memanfaatkan celah hukum dan teknologi digital.
Sumber-sumber internal menyebutkan sejumlah perekrut beroperasi dari wilayah Sumatera Utara, Jawa Barat dan Kalimantan dengan modus rekrutmen daring.
Sejumlah korban mengaku paspor mereka disita sejak tiba di Kamboja dan dipaksa bekerja hingga 16 jam per hari tanpa upah.
(Lentini Krisna Prananta Sembiring, SE)