Pematangsiantar - tajamnews.co.id Dalam praktik hukum keluarga di Indonesia, cerai gugat merupakan hak istri untuk mengajukan perceraian ke Pengadilan Agama. Namun, tidak banyak yang mengetahui bahwa dalam gugatan cerai tersebut, istri juga memiliki hak untuk menuntut sejumlah nafkah, yakni nafkah idah, mut’ah, dan madiah.
Permasalahan Hukum
Apakah istri yang menggugat cerai masih berhak menuntut nafkah dari suami? Bagaimana posisi hukum ketiga jenis nafkah tersebut?
Analisis Hukum
1. Nafkah Idah Merupakan nafkah yang wajib diberikan suami kepada istri selama masa idah, yaitu masa tunggu setelah perceraian. Dasar hukum: Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 149 huruf b dan Pasal 156 huruf c.
2. Nafkah Mut’ah Merupakan pemberian suami kepada istri sebagai tanda penghormatan atas pernikahan yang telah dijalani. Pemberian ini bersifat hibah atau hadiah moral. Dasar hukum: KHI Pasal 149 huruf c.
3. Nafkah Madiah (Maskan dan Makan) Nafkah ini terkait kebutuhan sehari-hari yang belum dipenuhi selama dalam ikatan perkawinan, termasuk tempat tinggal dan makanan. Praktik yudisial: Diperhitungkan apabila istri dapat membuktikan bahwa suami lalai dalam memenuhi kewajiban nafkah selama masa perkawinan.
Yurisprudensi Pendukung
- Putusan MA No. 137 K/AG/2007: Nafkah idah dan mut’ah tetap dapat dituntut oleh istri meskipun ia adalah pihak penggugat.
- Putusan MA No. 1794 K/AG/2016: Hak istri atas nafkah madiah diakui selama dapat dibuktikan kelalaian suami.
Kesimpulan Istri tetap berhak atas nafkah idah, mut’ah, dan madiah dalam gugatan cerai, selama dapat dibuktikan bahwa gugatan diajukan bukan karena kesalahan istri secara mutlak. Hak-hak ini dilindungi oleh Kompilasi Hukum Islam dan diperkuat oleh praktik peradilan agama.
Opini Penulis
Dalam praktiknya, banyak perempuan yang enggan menuntut hak-haknya secara maksimal dalam gugatan cerai karena tidak memahami dasar hukumnya atau merasa tidak berdaya secara ekonomi dan sosial. Padahal, hak atas nafkah idah, mut’ah, dan madiah bukanlah bentuk 'balas dendam' melainkan merupakan bentuk perlindungan hukum atas martabat dan hak ekonomi istri pasca perceraian.
Penulis berpendapat bahwa aparat penegak hukum, khususnya hakim di Pengadilan Agama, seharusnya proaktif menggali fakta mengenai pemenuhan hak-hak ini, bahkan ketika istri tidak secara eksplisit menuntutnya. Selain itu, pemberdayaan hukum bagi perempuan juga perlu ditingkatkan melalui edukasi hukum yang mudah diakses, agar para istri dapat menyusun gugatan cerai secara cermat dan adil.
Dengan demikian, hukum keluarga tidak hanya menjadi alat pemutus hubungan, tetapi juga jembatan keadilan dalam penyelesaian hak dan kewajiban pasca perceraian. (Sumber Gita Tri olanda. S.H)