Floating Image
Floating Image
Senin, 3 November 2025

Kebijakan Pembatas Harapan: Aturan Baru BPJS dan Perdosri Diduga Abaikan Hak Terapi Anak Cerebral Palsy


Oleh admintajam
02 November 2025
tentang Berita
Kebijakan Pembatas Harapan: Aturan Baru BPJS dan Perdosri Diduga Abaikan Hak Terapi Anak Cerebral Palsy - TajamNews

-

169 views



Medan | Tajamnews.co.id — 
Di balik jargon pelayanan kesehatan “untuk semua”, kini muncul kebijakan justru meminggirkan kelompok paling rentan. Sejak diberlakukannya aturan baru BPJS Kesehatan mengacu pada pedoman Perhimpunan Dokter Spesialis Rehabilitasi Medik Indonesia (Perdosri), anak-anak penyandang cerebral palsy (CP) berusia di atas tujuh tahun tidak lagi mendapatkan jaminan untuk terapi fisio terapi.

Aturan ini menimbulkan kekecewaan mendalam dan dinilai sebagai bentuk ketidakadilan sistemik terhadap penyandang disabilitas anak di Indonesia.

Harapan Terbentur Regulasi
  Ketua Yayasan Pejuang Cerebral Palsy Kota Medan, Ratna Sari Dewi, menyebut aturan tersebut sebagai pukulan berat bagi para orang tua selama ini berjuang menjaga tumbuh kembang anak mereka melalui terapi rutin.

> “Rumah sakit, Perdosri dan BPJS menerapkan aturan bahwa anak usia tujuh tahun tidak bisa lagi terapi menggunakan BPJS. Ini benar-benar menghambat perjuangan kami,” ujarnya, Sabtu (1/11/2025).

Ratna menjelaskan bahwa alasan pihak terkait adalah karena anak di atas tujuh tahun dianggap sudah bisa mengikuti kegiatan di Sekolah Luar Biasa (SLB). Asumsi tersebut dinilai menyesatkan karena tidak semua anak CP mampu mengikuti kegiatan sekolah, tergantung tingkat keparahan kondisinya.

> “Kalau ringan mungkin bisa sekolah, tapi berat jangankan sekolah, angkat kepala saja tidak bisa. Jadi bagai mana mungkin terapi dihentikan hanya karena usia ?” tegas Ratna.

Fisio terapi Bukan Pilihan Melainkan Kebutuhan Seumur Hidup
  Bagi anak cerebral palsy, fisio terapi bukan sekadar perawatan tambahan. Terapi ini berperan penting dalam mempertahankan fungsi otot dan mencegah kelumpuhan total.
Ratna menegaskan, penghentian terapi akibat aturan baru sama saja dengan memutus akses anak terhadap kualitas hidup layak.

> “Fisio terapi itu wajib, bahkan seumur hidup. Kami hanya minta sedikit kebijakan supaya anak-anak ini tetap bisa diterapi dengan BPJS,” ujarnya.

Tanpa jaminan BPJS, keluarga CP kini harus menanggung biaya terapi secara mandiri dengan kisaran Rp150 ribu hingga Rp250 ribu per sesi selama 45–60 menit. Dalam seminggu, anak minimal butuh dua hingga tiga kali terapi, berarti biaya bulanan bisa mencapai Rp2 juta hingga Rp3 juta.

Beban Ekonomi dan Nutrisi Terabaikan
  Kondisi ini diperparah oleh kebutuhan nutrisi anak CP juga tinggi. Asupan gizi dan terapi, menurut Ratna, saling berkaitan untuk menghasilkan perkembangan optimal. Ketika dana tersedot untuk terapi, pemenuhan gizi pun ikut terabaikan.

> “Kalau fisio terapi jalan tapi nutrisinya gak terpenuhi, hasilnya gak optimal. Sekarang banyak orang tua harus memilih beli susu atau bayar terapi,” ungkapnya.

Akar Masalah: Pedoman Perdosri dan Implementasi BPJS
  Sumber kebijakan ini berasal dari Standarisasi Pelayanan Rehabilitasi Medik susunan Perdosri. BPJS Kesehatan kemudian menjadikan pedoman tersebut sebagai acuan teknis dalam sistem klaim layanan fisio terapi.
Di dalamnya disebutkan bahwa anak di atas tujuh tahun dianggap telah masuk kategori usia sekolah dan diarahkan untuk memperoleh layanan terapi di SLB bukan lagi di rumah sakit melalui BPJS.

Kebijakan ini menimbulkan pertanyaan etik dan medis. Pasalnya, tidak semua SLB memiliki fasilitas dan tenaga fisio terapis profesional. Akibatnya banyak anak CP berat justru kehilangan akses terapi total.

Minimnya Sosialisasi Sebabkan Besarnya Dampak
  Sejumlah orang tua mengaku tidak pernah mendapat sosialisasi resmi sebelum aturan diberlakukan. Mereka baru mengetahui perubahan tersebut ketika klaim fisio terapi ditolak di rumah sakit.
Beberapa rumah sakit pun masih kebingungan dalam menerapkan batasan usia karena tidak ada penjelasan rinci terkait kondisi medis khusus.

“Paling disayangkan adalah minim komunikasi. Kami seperti diputus di tengah jalan,” keluh salah satu orang tua pasien di Medan enggan disebutkan namanya.

Desakan Evaluasi dan Kajian Ulang
  Kebijakan pembatas terapi berdasarkan usia ini dinilai bertentangan dengan semangat Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, menjamin hak atas layanan kesehatan tanpa diskriminasi.
Aktivis dan pemerhati kesehatan anak menyerukan agar BPJS Kesehatan dan Kementerian Kesehatan segera melakukan kajian ulang terhadap kebijakan berbasis usia tersebut.

> “Kebutuhan anak CP bukan ditentukan usia, tapi kondisi medisnya. Ini soal hak hidup layak,” ujar Ratna.

Di Antara Regulasi dan Kemanusiaan
  Kasus ini membuka babak baru dalam perdebatan tentang keadilan akses kesehatan di Indonesia. Di satu sisi, BPJS Kesehatan berpegang pada pedoman medis formal. Di sisi lain, ada ribuan anak dengan cerebral palsy kini kehilangan kesempatan untuk sekedar belajar mengangkat kepala atau melangkah.

Jika kebijakan ini tidak segera dievaluasi, maka terancam bukan hanya hak atas kesehatan, tetapi juga masa depan generasi paling membutuhkan perlindungan negara.

Sejumlah awak media akan terus menelusuri respons resmi BPJS Kesehatan dan Perdosri atas kebijakan ini, serta dampaknya terhadap layanan rehabilitasi medik di berbagai daerah.

(Lentini Krisna Prananta Sembiring, SE)

Penulis

admintajam

Berita Lainnya dari Berita