Floating Image
Floating Image
Sabtu, 1 November 2025

Surat Edaran ASN Beli Cabai: Antara Tawaran, Tekanan Struktural dan Solusi Inflasi Prematur


Oleh admintajam
27 Oktober 2025
tentang Berita
Surat Edaran ASN Beli Cabai: Antara Tawaran, Tekanan Struktural dan Solusi Inflasi Prematur - TajamNews

-

475 views



Medan | Tajamnews.co.id — 
Kebijakan intervensi pasar Pemerintah Provinsi Sumatera Utara (Pemprov Sumut) kembali menjadi sorotan setelah muncul surat edaran yang mendorong Aparatur Sipil Negara (ASN) membeli cabai merah dalam program pengendalian inflasi daerah.
Meskipun kemudian diklarifikasi sebagai “tawaran”, bukan “kewajiban”, kebijakan tersebut menimbulkan gelombang beragam persepsi publik, dari dukungan terhadap langkah cepat pemerintah, hingga kritik bahwa ASN dijadikan sasaran pasar untuk menambal kegagalan sistem distribusi pangan.

1. Kebijakan Publik: Antara Instruksi dan Interpretasi

Surat edaran bernomor 500.1/9065/2025, tertanggal 21 Oktober 2025, ditanda tangani Sekretaris Daerah (Sekda) Sumut Togap Simangunsong, memuat himbauan agar seluruh ASN ikut membeli cabai merah dalam operasi pasar digelar Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) Sumut.

Surat itu diberi label “Penting”, dan ditembuskan langsung kepada Gubernur Sumut Bobby Nasution.
Bahkan, sembilan instansi strategis seperti Dinas Perdagangan, Dinas Ketahanan Pangan, hingga PT Bank Sumut dan Perumda Tirtanadi turut menjadi sasaran edaran tersebut.

Kalimat kunci dalam surat itu berbunyi:

> “Diharapkan partisipasi perangkat daerah untuk memberikan dukungan logistik atau fasilitas dalam pelaksanaan operasi pasar di lingkungan kantor masing-masing serta menginformasikan kepada seluruh ASN agar melakukan pembelian cabai merah.”

Munculnya kata “diharapkan” dan “agar melakukan pembelian” menjadi sumber tafsir ganda antara himbauan suka rela dan tekanan administratif.

Tidak butuh waktu lama, edaran itu beredar di grup WhatsApp pegawai pemerintah dan memicu keresahan. Banyak ASN mengaku merasa “tidak enak” jika tidak ikut membeli, karena perintah tersebut bersifat resmi dan berjenjang dari Sekda.

Menjawab polemik itu, Kepala Biro Perekonomian Setdaprov Sumut, Poppy Hutagalung, memberi klarifikasi bahwa surat tersebut bukan bentuk kewajiban.

> “Di dalam surat itu hanya menawarkan, jadi tidak ada kewajiban untuk membeli cabai merah,” tegas Poppy kepada wartawan, Kamis (23/10/2025).

Poppy menambahkan, ASN tetap berhak membeli kebutuhan pokok di pasaran, termasuk cabai inter vensi jualan Pemprov Sumut.

> “ASN juga kan konsumen, jadi tidak ada masalah. Saya tegaskan sekali lagi, tidak ada kewajiban untuk membeli cabai,” ujarnya menutup.

2. Efektivitas Ekonomi: Antara Solusi Cepat dan Efek Pasar

Program inter vensi cabai oleh Pemprov Sumut dilakukan melalui BUMD Aneka Industri dan Jasa (AIJ) membeli 50 ton cabai merah dari Jember, Jawa Timur untuk menstabilkan harga di pasar lokal.
Langkah ini dinilai strategis, namun sejumlah ekonom menilai kebijakan itu bersifat reaktif, bukan struktural.

Inter vensi dengan cara menjual cabai kepada ASN hanya mengalihkan jalur distribusi bukan mengatasi akar persoalan biaya trans portasi antar daerah, rantai pasok panjang dan lemahnya koordinasi dengan petani lokal.

Dr Muhammad Nasir, pengamat ekonomi dari Universitas Sumatera Utara (USU), mengatakan bahwa inter vensi jangka pendek memang dapat menahan lonjakan inflasi sesaat, tetapi tidak akan efektif bila mekanisme pasar tidak dibenahi.

> “Kalau inter vensinya diarahkan pada ASN, maka daya beli pemerintah hanya berpindah ke sektor tertutup. Harga di pasar umum tetap tidak stabil karena suplai lokal belum tersentuh,” ujarnya.

Bahkan, inter vensi semacam ini berpotensi menciptakan anomali pasar di mana harga cabai hasil inter vensi dijual lebih murah di kantor pemerintahan, sementara harga di pasar rakyat tetap tinggi.
Kondisi ini berisiko menimbulkan kesenjangan ekonomi mikro, serta kesan bahwa pemerintah hanya mengalihkan beban inflasi kepada pegawainya sendiri.

3. Persepsi ASN dan Gagalnya Komunikasi Publik

Meski telah diklarifikasi, di lapangan muncul fenomena “tekanan struktural”.
Beberapa ASN mengaku merasa perlu membeli cabai inter vensi agar tidak dianggap tidak mendukung program pemerintah.
Beberapa lainnya justru mempertanyakan relevansi kebijakan menjadikan mereka target pasar.

Salah seorang ASN di lingkungan Dinas Perindustrian dan Perdagangan Sumut, enggan disebut namanya, mengatakan

> “Kami tidak keberatan beli cabai, tapi kalau suratnya pakai kata ‘Penting’ dan ditanda tangani Sekda, tentu kami merasa wajib. Takut dianggap tidak loyal.”

Kondisi ini memperlihatkan bahwa persoalan bukan semata pada isi kebijakan, melainkan cara komunikasi pemerintah tidak sensitif terhadap persepsi birokrasi.
Alih alih menciptakan partisipasi sukarela, surat edaran justru menimbulkan kesan pemaksaan terselubung.

Pengamat kebijakan publik, Dr Dede Mulyana, menilai bahwa kegagalan komunikasi publik sering terjadi karena pemerintah tidak menimbang psikologi ASN sebagai bagian dari sistem hierarkis.

> “Kata ‘diharapkan’ dalam birokrasi sering berarti ‘diwajibkan’. Kalau Pemprov ingin partisipasi sukarela, seharusnya surat itu tidak bernada instruktif,” jelasnya.

Inflasi Tidak Sekedar Soal Cabai
  Kasus surat edaran ASN beli cabai di Sumut menunjukkan paradoks klasik dalam tata kelola kebijakan publik daerah: niat baik menekan inflasi justru memunculkan polemik administratif dan komunikasi.

Pemprov Sumut tampak berupaya cepat menstabilkan harga, namun langkah tersebut belum menyentuh akar persoalan struktural inflasi bahan pangan, seperti ketergantungan pada pasokan luar daerah, lemahnya manajemen stok dan keterlambatan operasi pasar.

ASN seharusnya menjadi pelayan publik, justru ditempatkan sebagai konsumen inter vensi.
Kebijakan ini mungkin menenangkan grafik inflasi sesaat, tapi belum tentu menenangkan hati warga maupun aparatur merasakannya langsung.

1. Secara administratif, surat edaran tersebut tidak memuat kewajiban hukum, namun redaksinya membuka ruang tafsir sebagai tekanan struktural.
2. Secara ekonomi, inter vensi melalui ASN tidak menyentuh akar inflasi pangan di Sumut.
3. Secara komunikasi publik, klarifikasi terlambat dilakukan, sehingga persepsi ASN terlanjur terbentuk negatif.

Kesimpulannya peristiwa tersebut adalah gambaran komprehensif atas polemik kebijakan inter vensi inflasi di Sumatera Utara, dengan tetap mengedepankan asas verifikasi, keseimbangan dan konteks ekonomi daerah.

(Lentini Krisna Prananta Sembiring, SE)

Penulis

admintajam

Berita Lainnya dari Berita