Floating Image
Floating Image
Sabtu, 1 November 2025

Perbudakan Modern di Balik Rak Swalayan: Kisah Penganiayaan Pramita Bongkar Sisi Gelap Dunia Kerja di Medan


Oleh admintajam
29 Oktober 2025
tentang Berita
Perbudakan Modern di Balik Rak Swalayan: Kisah Penganiayaan Pramita Bongkar Sisi Gelap Dunia Kerja di Medan - TajamNews

-

614 views



Medan | Tajamnews.co.id —  
Kasus dugaan penganiayaan dialami Pramita Manalu, seorang karyawan di salah satu swalayan di Jalan Merak, Kecamatan Medan Sunggal, membuka tabir kelam relasi kuasa dalam dunia kerja. Di balik bisnis ritel modern yang tampak rapi dan profesional, ternyata masih tersimpan praktik menyerupai perbudakan modern, di mana pekerja diperlakukan bukan sebagai manusia, melainkan sebagai alat produksi bisa ditekan, bahkan disakiti.

Kuasa hukum korban, Ranto Sibarani, S.H., M.H., menegaskan bahwa perlakuan tindakan dilakukan oleh manajer tempat Pramita bekerja merupakan bentuk pelanggaran berat terhadap harkat kemanusiaan buruh.

> “Hal tersebut membuktikan bahwa perbudakan terhadap buruh masih ada. Padahal pekerja adalah kelas harus dihormati hak-haknya, karena mereka mendukung bisnis dan perekonomian negara ini,” ujar Ranto dengan nada tegas.

Kronologi Kekerasan di Ruang Tertutup
  Peristiwa memilukan itu terjadi pada 10 Oktober 2025, sekitar pukul 15.00 WIB. Pramita dipanggil oleh sang manajer untuk naik ke lantai dua ke gudang swalayan tersebut. Di sana, di dalam ruangan tertutup, perintah tidak masuk akal pun dimulai.

> “Klien kami disuruh berdiri dan menadahkan tangannya. Manajer itu lalu meletakkan sebuah keranjang besar berisi banyak gembok ke tangannya. Saat klien kami masih bisa menahan keranjang itu sambil menangis, manajer menambahkan dua kantong plastik besar berisi beban berat hingga klien kami jatuh,” jelas Ranto.

Keranjang dan kantong plastik berisi beban berat itu menimpa tubuh Pramita, menyebabkan lebam di tangan dan kakinya. Saat korban terjatuh dan tidak mampu berdiri, sang manajer bukannya menolong, justru membentak dan memaksanya untuk berdiri kembali, sebelum memerintahkannya keluar dari ruangan.

Dampak Fisik dan Dugaan Korban Lain
  Akibat kekerasan itu, Pramita tidak bisa berdiri selama dua hari dan kesulitan beraktivitas. Namun kasus ini diduga bukan satu-satunya.

> “Kami menduga korban penganiayaan ala perbudakan tidak hanya dialami oleh klien kami. Jangan-jangan ada beberapa korban lain, hanya saja mereka tidak berani speak up,” tambah Ranto.

Korban telah membuat laporan resmi ke Polrestabes Medan dengan Laporan Polisi Nomor: STTLP/B/3531/X/2025/SPKT/POLRESTABES MEDAN/POLDA SUMATERA UTARA, dengan terlapor berinisial “N”, merupakan manajer di swalayan tersebut. Visum juga telah dilakukan di RS Pirngadi Medan sebagai bukti medis.

Desakan Penegakan Hukum dan Kritik atas Relasi Kuasa di Dunia Kerja
  Ranto meminta Polrestabes Medan segera menindaklanjuti laporan ini secara tegas dan transparan. Ia menegaskan bahwa hukum tidak boleh tunduk pada kekayaan atau jabatan seseorang.

> “Tidak ada satu pun hukum di dunia tunduk pada seseorang karena kekayaannya. Hubungan manajer dan karyawan adalah saling membutuhkan, bukan relasi penindasan,” tegasnya.

Ia menutup pernyataannya dengan kalimat tegas berbahasa Prancis, “Le salut du peuple est la suprême loi”, keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi.

Ketika Buruh Masih Tidak Punya Suara
  Kasus ini menjadi cermin buram bahwa perlindungan tenaga kerja di sektor ritel masih rapuh. Banyak pekerja bekerja di bawah tekanan, tanpa keberanian melapor ketika mengalami kekerasan atau pelecehan oleh atasan.
Fenomena ini menunjukkan bahwa perbudakan modern tidak selalu berupa rantai dan borgol, kadang berbentuk ketakutan, tekanan ekonomi, dan ancaman kehilangan pekerjaan.

Jika aparat tidak bertindak cepat, bukan tidak mungkin kasus Pramita hanyalah puncak gunung es dari pelanggaran hak buruh lebih luas di Kota Medan.

(Lentini Krisna Prananta Sembiring, SE)

Penulis

admintajam

Berita Lainnya dari Berita