Medan | Tajamnews.co.id —
Ancaman banjir di Kota Medan kembali mencuat setelah sorotan tajam datang dari Anggota DPRD Medan, Zulham Efendi. Dalam rapat kerja Komisi IV bersama Balai Wilayah Sungai (BWS) Sumatera II, Zulham menuding lembaga tersebut belum menunjukkan keseriusan dalam mengatasi banjir berulang, terutama di kawasan Medan bagian Utara.
“Banyak laporan dari lurah tidak ditanggapi dengan cepat oleh BWS. Salah satunya tanggul pecah sudah dilaporkan, tapi tidak ada tindak lanjut. Padahal ini menyangkut keselamatan warga,” tegas Zulham dalam rapat, Senin (20/10).
Pernyataan itu menyoroti akar masalah klasik, respons lamban, koordinasi lemah dan penanganan bersifat tambal sulam.
Minim Anggaran Sebagai Pengulangan Alasan Klasik
Kepala BWS Sumatera II, Feriyanto Pawenrusi, mengakui persoalan keterbatasan dana menjadi kendala utama.
Ia menyebut, alokasi dana untuk penanganan tiap sungai hanya sekitar Rp200 juta per tahun, jumlah nyaris tidak cukup untuk pekerjaan pemeliharaan tanggul, pengerukan atau normalisasi aliran air di wilayah seluas Kota Medan.
“Kita sudah melakukan perbaikan di sejumlah titik sebelum banjir datang, termasuk di depan Polda Sumut di kawasan Sungai Batangkuis. Total ada sekitar 10 titik sudah disentuh sesuai kemampuan anggaran,” ungkap Feriyanto.
Namun, angka itu justru membuka pertanyaan, bagaimana efektivitas penggunaan anggaran dan prioritas titik rawan banjir ditentukan? Sebab, laporan warga dan lurah menunjukkan sejumlah kawasan seperti Martubung, Mabar dan Helvetia masih sering tergenang setiap kali hujan deras mengguyur.
Koordinasi Tumpang Tindih
Feriyanto menambahkan, peran pemerintah provinsi maupun kabupaten/kota sangat dibutuhkan untuk memperkuat penanganan banjir.
Namun, ia menegaskan setiap intervensi harus mendapat izin dari Direktorat Sumber Daya Air Kementerian PUPR, untuk menghindari tumpang tindih kewenangan.
Masalahnya, mekanisme koordinasi ini justru sering berujung pada ketidak pastian tindakan di lapangan.
Sementara birokrasi berputar di meja koordinasi, warga kembali menjadi korban ketika hujan deras datang tanpa peringatan.
Seruan Aksi Nyata Tapi Bukan Seremonial
Zulham mendesak agar koordinasi lintas lembaga diperkuat dan langkah teknis dipercepat.
“Kita ingin kerja cepat dan kolaboratif. Jangan tunggu banjir besar dulu baru bertindak. Warga sudah terlalu sering jadi korban,” ujarnya.
Pernyataan ini menjadi alarm bagi semua pihak, bahwa tanpa reformasi sistem penanganan banjir, Kota Medan bisa terjebak dalam siklus kesamaan bencana setiap tahun.
Berdasarkan pantauan lapangan dan data dari sejumlah lurah, beberapa titik kritis di Medan Utara mengalami kerusakan tanggul dan pendangkalan sungai lebih dari dua tahun tanpa penanganan permanen. Jika tidak ada perubahan kebijakan dan percepatan koordinasi lintas sektor, banjir bukan lagi insiden musiman, melainkan pembiaran bencana permanen.
(Lentini Krisna Prananta Sembiring, SE)